
biztelegraph.com, 01 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88
Guinea-Bissau, sebuah negara kecil di Afrika Barat yang merdeka dari Portugal pada tahun 1974, memiliki sejarah militer yang dipengaruhi oleh ketidakstabilan politik, keterbatasan ekonomi, dan tantangan infrastruktur. Meskipun negara ini tidak dikenal sebagai pusat inovasi teknologi militer, perkembangan teknologi militernya mencerminkan upaya untuk mempertahankan keamanan nasional dalam konteks sumber daya yang terbatas dan ketergantungan pada bantuan asing. Artikel ini akan membahas secara mendalam perkembangan teknologi militer di Guinea-Bissau, termasuk konteks sejarah, kondisi angkatan bersenjata, kerja sama internasional, dan tantangan yang dihadapi dalam mengadopsi teknologi militer modern.
Latar Belakang Sejarah 
Guinea-Bissau memiliki sejarah panjang sebagai bagian dari Kerajaan Kaabu dan Kekaisaran Mali sebelum menjadi koloni Portugal pada abad ke-19. Perjuangan kemerdekaan yang dipimpin oleh Partai Afrika untuk Kemerdekaan Guinea dan Tanjung Verde (PAIGC) pada 1963–1974 sangat bergantung pada taktik gerilya dan senjata ringan yang disuplai oleh sekutu seperti Kuba dan Uni Soviet. Setelah kemerdekaan, Guinea-Bissau menghadapi tantangan besar dalam membangun angkatan bersenjata modern karena ketidakstabilan politik, termasuk perang saudara (1998–1999), kudeta militer berulang, dan ekonomi yang lemah.
Pada tahun 1720-an, periode yang jauh sebelum kemerdekaan, wilayah ini belum memiliki konsep teknologi militer modern karena masih berada di bawah pengaruh kerajaan lokal dan awal kolonisasi Eropa. Oleh karena itu, fokus artikel ini adalah pada perkembangan teknologi militer pasca-kemerdekaan, dengan penekanan pada abad ke-20 dan ke-21, ketika Guinea-Bissau mulai membentuk angkatan bersenjatanya dan menghadapi tantangan modernisasi.
Kondisi Angkatan Bersenjata Guinea-Bissau 
Menurut perkiraan tahun 2019, angkatan bersenjata Guinea-Bissau terdiri dari sekitar 4.000–4.400 personel, dengan pengeluaran militer sekitar 1,7–2% dari Produk Domestik Bruto (PDB), atau sekitar $23,3 juta. Angkatan bersenjata ini mencakup angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara kecil, dengan fokus utama pada menjaga keamanan dalam negeri dan melindungi wilayah pesisir dari ancaman seperti perdagangan narkoba dan penyelundupan. Sistem wajib militer diterapkan untuk usia 18–25 tahun, dengan opsi layanan sukarela untuk usia 16 tahun ke atas dengan persetujuan orang tua.
Namun, angkatan bersenjata Guinea-Bissau menghadapi keterbatasan signifikan, termasuk:
-
Infrastruktur yang lemah: Kurangnya fasilitas pelatihan dan pemeliharaan peralatan militer.
-
Anggaran terbatas: Ekonomi Guinea-Bissau yang bergantung pada pertanian subsisten dan bantuan asing membatasi investasi dalam teknologi militer.
-
Ketidakstabilan politik: Kudeta militer, seperti yang terjadi pada 2012, dan konflik internal menghambat modernisasi militer.
Perkembangan Teknologi Militer
Perkembangan teknologi militer di Guinea-Bissau sangat terbatas dibandingkan dengan negara-negara maju atau bahkan negara tetangga di Afrika Barat. Berikut adalah analisis mendalam tentang aspek-aspek utama perkembangan teknologi militer di negara ini:
1. Senjata dan Peralatan Militer 
Guinea-Bissau tidak memiliki industri pertahanan domestik yang signifikan, sehingga sebagian besar peralatan militernya berasal dari peninggalan era kemerdekaan atau bantuan asing. Selama perang kemerdekaan (1963–1974), PAIGC menggunakan senjata ringan seperti senapan AK-47, mortir, dan roket anti-tank yang disuplai oleh Uni Soviet dan Kuba. Setelah kemerdekaan, angkatan bersenjata mewarisi peralatan ini, yang sebagian besar sudah usang pada abad ke-21.
Tidak ada bukti bahwa Guinea-Bissau telah mengadopsi teknologi militer canggih seperti drone, senjata berbasis energi, atau rudal hipersonik, yang menjadi fokus negara-negara maju. Angkatan lautnya, yang bertugas menjaga garis pantai sepanjang Samudra Atlantik, kemungkinan besar menggunakan kapal patroli kecil dan perahu cepat, tetapi tidak ada laporan spesifik tentang modernisasi armada ini. Angkatan udara Guinea-Bissau juga sangat terbatas, kemungkinan hanya memiliki beberapa pesawat ringan atau helikopter tua, jika ada.
2. Kerja Sama Internasional dalam Pertahanan 
Guinea-Bissau mengandalkan kerja sama internasional untuk memperkuat kemampuan militernya. Salah satu contoh signifikan adalah kerja sama dengan Indonesia pada tahun 2017, ketika kedua negara menandatangani Letter of Intent (LoI) untuk memperkuat kerja sama pertahanan. Delegasi Indonesia, termasuk perwakilan dari industri pertahanan, mengunjungi Guinea-Bissau untuk membahas peluang kerja sama, termasuk potensi transfer teknologi atau peralatan militer. Perdana Menteri Guinea-Bissau, Umaro Sissoco Embalo, menyambut baik inisiatif ini dan mengakui kapasitas industri pertahanan Indonesia yang dianggap mumpuni.
Selain Indonesia, Guinea-Bissau memiliki hubungan diplomatik dengan negara-negara seperti Portugal, Prancis, Angola, Brasil, dan Rusia, yang memiliki kantor diplomatik di Bissau. Namun, tidak ada laporan spesifik tentang transfer teknologi militer canggih dari negara-negara ini. Sebagai anggota Komunitas Ekonomi Negara Afrika Barat (ECOWAS) dan Uni Afrika, Guinea-Bissau juga berpartisipasi dalam inisiatif keamanan regional, tetapi perannya lebih sebagai penerima bantuan daripada pengembang teknologi.
Pada tahun 2018, Guinea-Bissau menandatangani Perjanjian PBB tentang Larangan Senjata Nuklir, menunjukkan komitmennya terhadap non-proliferasi senjata pemusnah massal. Namun, ini lebih merupakan langkah diplomatik daripada indikasi kemampuan teknologi militer.
3. Tantangan dalam Modernisasi Militer
Modernisasi militer di Guinea-Bissau menghadapi beberapa tantangan utama:
-
Keterbatasan Ekonomi: Dengan PDB hanya sekitar $3,3 miliar pada 2018 dan lebih dari dua pertiga penduduk hidup dalam kemiskinan ekstrem, Guinea-Bissau tidak memiliki sumber daya untuk mengembangkan atau membeli teknologi militer canggih.
-
Ketidakstabilan Politik: Sejak kemerdekaan, tidak ada presiden terpilih yang menyelesaikan masa jabatan penuh selama lima tahun, dan kudeta militer seperti pada 2012 melemahkan kemampuan pemerintah untuk fokus pada pembangunan militer.
-
Perdagangan Narkoba: Guinea-Bissau telah menjadi pusat transit narkoba internasional sejak 2005, yang melibatkan oknum militer dan melemahkan disiplin serta fokus angkatan bersenjata. Hal ini mengalihkan sumber daya dari modernisasi militer ke penanganan masalah keamanan dalam negeri.
-
Kurangnya Infrastruktur Teknologi: Tidak adanya industri pertahanan domestik atau pusat penelitian dan pengembangan (R&D) membuat Guinea-Bissau bergantung sepenuhnya pada impor peralatan militer.
4. Peran Teknologi Non-Militer dalam Keamanan
Karena keterbatasan dalam teknologi militer, Guinea-Bissau lebih mengandalkan teknologi non-militer untuk keamanan. Misalnya, sistem komunikasi dan transportasi dasar digunakan untuk mendukung operasi patroli di wilayah pesisir, yang rentan terhadap perdagangan narkoba dan penyelundupan. Teknologi sederhana seperti radio komunikasi dan kendaraan darat kemungkinan besar menjadi tulang punggung operasi militer.
Selain itu, Guinea-Bissau telah menunjukkan minat dalam reformasi struktural yang didukung oleh Dana Moneter Internasional (IMF) sejak 1997, yang meningkatkan stabilitas moneter dan memungkinkan alokasi anggaran untuk keamanan. Namun, dampaknya terhadap teknologi militer tetap minimal karena prioritas pemerintah lebih terfokus pada pembangunan ekonomi dan sosial.
Dampak dan Prospek Masa Depan
Perkembangan teknologi militer di Guinea-Bissau memiliki dampak terbatas pada keamanan nasional dan regional karena skala angkatan bersenjatanya yang kecil dan kurangnya investasi dalam R&D. Namun, kerja sama internasional, seperti dengan Indonesia, menawarkan potensi untuk memperoleh peralatan atau pelatihan yang dapat meningkatkan kemampuan militer. Misalnya, kerja sama dengan negara-negara yang memiliki industri pertahanan maju dapat memungkinkan transfer teknologi sederhana, seperti sistem komunikasi atau kapal patroli.
Prospek masa depan untuk modernisasi militer di Guinea-Bissau bergantung pada:
-
Stabilitas Politik: Pemerintahan yang stabil diperlukan untuk merencanakan dan melaksanakan program modernisasi militer.
-
Bantuan Asing: Kerja sama dengan negara-negara seperti Indonesia, Portugal, atau anggota ECOWAS dapat memberikan akses ke peralatan dan pelatihan.
-
Pengendalian Perdagangan Narkoba: Mengurangi keterlibatan oknum militer dalam perdagangan narkoba akan meningkatkan disiplin dan efisiensi angkatan bersenjata.
-
Fokus pada Teknologi Dual-Use: Mengadopsi teknologi yang dapat digunakan untuk keperluan militer dan sipil, seperti sistem komunikasi atau drone pengintai sederhana, dapat menjadi solusi hemat biaya.
Kesimpulan
Perkembangan teknologi militer di Guinea-Bissau sangat terbatas oleh faktor ekonomi, politik, dan infrastruktur. Angkatan bersenjata negara ini masih mengandalkan peralatan usang dari era kemerdekaan dan bantuan asing, tanpa adanya industri pertahanan domestik. Kerja sama internasional, seperti dengan Indonesia pada 2017, menunjukkan potensi untuk meningkatkan kemampuan militer, tetapi tantangan seperti ketidakstabilan politik dan perdagangan narkoba menghambat kemajuan. Untuk masa depan, Guinea-Bissau perlu memprioritaskan stabilitas politik dan kerja sama regional untuk mengadopsi teknologi militer yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran negara. Meskipun tidak mungkin menjadi kekuatan militer besar, Guinea-Bissau dapat memanfaatkan teknologi sederhana dan bantuan asing untuk memperkuat keamanan nasional dan regional.
BACA JUGA: Panel Distribusi, Breaker, dan MCB: Fungsi, Komponen, dan Aplikasi dalam Sistem Kelistrikan
BACA JUGA: Hukum Acara (Formil): Pengertian, Prinsip, dan Penerapan di Indonesia
BACA JUGA: Badut-badut Politik: Fenomena, Dampak, dan Respons Masyarakat di Indonesia