Perkembangan Teknologi Militer Sri Lanka: Dari Era Kolonial hingga Modernisasi Pasca-Perang Saudara

biztelegraph.com, 14 MEI 2025

Penulis: Riyan Wicaksono

Editor: Muhammad Kadafi

Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88

 

 

 

Sri Lanka, sebuah negara pulau di pesisir tenggara India, memiliki sejarah militer yang panjang, membentang lebih dari 2.000 tahun. Sejak era kerajaan kuno hingga masa kolonial dan kemerdekaan pada 1948, perkembangan teknologi militer Sri Lanka telah dipengaruhi oleh kebutuhan keamanan dalam negeri, konflik etnis, dan hubungan geopolitik dengan negara-negara besar seperti India, Tiongkok, dan Barat. Artikel ini menguraikan secara mendetail perkembangan teknologi militer Sri Lanka, mulai dari akar sejarahnya, evolusi Angkatan Bersenjata Sri Lanka (Sri Lanka Armed Forces), modernisasi peralatan militer, hingga tantangan dan prospek masa depan. Informasi ini didasarkan pada sumber sejarah, laporan resmi, dan analisis kritis terhadap konteks militer Sri Lanka.

1. Latar Belakang Sejarah: Akar Militer Sri Lanka

1.1. Era Pra-Kolonial

Sejarah militer Sri Lanka dapat ditelusuri hingga zaman kerajaan kuno seperti Tambapanni (abad ke-6 SM) dan Anuradhapura (didirikan pada 437 SM). Kerajaan-kerajaan ini mengembangkan teknologi militer tradisional, termasuk penggunaan pasukan kavaleri dengan kuda, gajah perang, dan busur komposit. Lokasi strategis Sri Lanka di Jalur Sutra membuatnya menjadi pusat perdagangan, yang juga memengaruhi perkembangan taktik militer untuk melindungi wilayah pesisir dari invasi.

Militer pada era ini bergantung pada teknologi sederhana seperti pedang, tombak, dan perisai, dengan fokus pada formasi infanteri dan kavaleri. Benteng-benteng batu, seperti di Sigiriya, menunjukkan kemajuan dalam arsitektur pertahanan. Namun, keterbatasan sumber daya dan ekonomi agraris membatasi investasi dalam teknologi militer khusus, serupa dengan kondisi global pada masa itu.

1.2. Masa Kolonial (1505–1948)

Kedatangan Portugis pada 1505, diikuti oleh Belanda dan Inggris, memperkenalkan teknologi militer Eropa ke Sri Lanka. Portugis membawa senjata api awal, seperti arquebus, dan membangun benteng pesisir. Belanda meningkatkan fortifikasi, seperti di Galle, dan memperkenalkan meriam yang lebih canggih. Inggris, yang menguasai pulau ini pada 1815, mendirikan Resimen Senapan Ceylon (Ceylon Rifle Regiment), yang sebagian besar terdiri dari prajurit Melayu tetapi juga melibatkan penduduk asli.

Pada masa kolonial, teknologi militer Sri Lanka terbatas pada milisi lokal yang mendukung kekuatan Eropa. Senjata seperti musket, meriam, dan kapal perang layar menjadi standar, tetapi akses masyarakat lokal terhadap teknologi ini dibatasi oleh penjajah. Inggris menggunakan milisi ini untuk melawan pemberontakan, seperti Perang Kandyan (1803–1818), yang menunjukkan ketimpangan teknologi antara pasukan kolonial dan kerajaan lokal.

2. Perkembangan Militer Pasca-Kemerdekaan (1948–1983)

2.1. Angkatan Bersenjata Ceylon

    Sri Lanka Kerahkan Militer Redam Kerusuhan      

Setelah kemerdekaan pada 4 Februari 1948, Sri Lanka (saat itu disebut Ceylon) mewarisi struktur militer kolonial yang lemah. Angkatan Bersenjata Ceylon, yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, memiliki peralatan terbatas, seperti senapan Lee-Enfield, kendaraan ringan, dan beberapa kapal patroli kecil. Fokus utama militer adalah keamanan dalam negeri, membantu polisi dalam menjaga ketertiban, karena tidak ada ancaman eksternal signifikan. Hubungan baik dengan India dan perjanjian pertahanan dengan Inggris mengurangi kebutuhan untuk pengembangan militer yang agresif.

Pada 1950-an, militer Ceylon digunakan untuk keamanan internal, tetapi percobaan kudeta pada 1962 oleh sekelompok cadangan menyebabkan pemotongan anggaran militer dan pembubaran beberapa resimen. Hal ini melemahkan kesiapan militer, terutama ketika pemberontakan Marxis oleh Janatha Vimukthi Peramuna (JVP) meletus pada April 1971. Pemberontakan ini memaksa mobilisasi cepat, tetapi kekurangan senjata modern dan intelijen menghambat respons awal.

2.2. Teknologi Militer Awal

Pada periode ini, teknologi militer Sri Lanka masih bergantung pada peralatan bekas Inggris, seperti senapan bolt-action, mortir, dan kendaraan lapis baja ringan seperti Ferret Scout Car. Angkatan Udara menggunakan pesawat pelatih seperti de Havilland Chipmunk, sementara Angkatan Laut mengoperasikan kapal patroli kecil. Tidak ada investasi signifikan dalam penelitian dan pengembangan (R&D) teknologi militer, karena Sri Lanka mengandalkan impor dan bantuan asing.

3. Perang Saudara Sri Lanka (1983–2009) dan Percepatan Modernisasi Militer

3.1. Latar Belakang Perang Saudara

Perang Saudara Sri Lanka, yang berlangsung dari 1983 hingga 2009, menjadi katalis utama perkembangan teknologi militer negara ini. Konflik antara pemerintah Sri Lanka dan kelompok separatis Tamil, terutama Liberation Tigers of Tamil Eelam (LTTE), memaksa Angkatan Bersenjata Sri Lanka untuk bertransformasi dari kekuatan keamanan internal menjadi militer yang mampu melakukan operasi konvensional dan kontrainsurgensi.

LTTE, yang terkenal karena taktik gerilya, bom bunuh diri, dan penggunaan teknologi improvisasi (seperti kapal cepat bersenjata dan pesawat ringan), menantang kemampuan militer Sri Lanka. Untuk mengimbangi LTTE, pemerintah meningkatkan anggaran militer dan mencari bantuan teknologi dari negara-negara seperti India, Tiongkok, Israel, dan Pakistan.

3.2. Perkembangan Teknologi Militer Selama Perang

3.2.1. Angkatan Darat

    Perang Berakhir, Militer Sri Lanka Diberi Tugas Baru.. Jualan Sayur |  Republika Online      

Angkatan Darat Sri Lanka mengalami ekspansi pesat pada 1980-an, dengan jumlah personel meningkat dari sekitar 10.000 pada awal dekade menjadi lebih dari 100.000 pada 1990-an. Peralatan utama meliputi:

  • Senjata Ringan: Senapan serbu seperti T-56 (varian AK-47 dari Tiongkok) dan M16 menjadi standar, menggantikan senapan bolt-action yang ketinggalan zaman.

  • Kendaraan Lapis Baja: Sri Lanka mengimpor kendaraan lapis baja seperti BMP-1 dan BMP-2 dari Uni Soviet/Rusia, serta kendaraan buatan lokal seperti Unibuffel, yang dirancang untuk melindungi dari ranjau darat LTTE.

  • Artileri: Meriam 122mm dan 152mm dari Tiongkok, serta mortir 120mm, meningkatkan daya tembak jarak jauh.

3.2.2. Angkatan Udara

    Tragedi di Sri Lanka, Helikopter Jatuh ke Danau Tewaskan 6 Tentara - FAJAR      

Angkatan Udara Sri Lanka (SLAF) memainkan peran penting dalam perang saudara, terutama untuk serangan udara dan transportasi. Modernisasi SLAF meliputi:

  • Pesawat Tempur: Pengadaan pesawat Kfir C.2/C.7 dari Israel pada 1990-an memberikan kemampuan serangan udara presisi. SLAF juga menggunakan MiG-27 dan F-7 Skybolt dari Tiongkok untuk misi serangan darat.

  • Helikopter: Helikopter serang Mi-24 Hind dari Rusia dan helikopter transport Bell 212/412 digunakan untuk operasi kontrainsurgensi dan evakuasi medis.

  • Pesawat Transport: Pengadaan pesawat C-130 Hercules dan Y-12 dari Tiongkok meningkatkan kemampuan logistik.

3.2.3. Angkatan Laut

    TNI AL Terpilih Sebagai Angkatan Laut Terkuat di Asia, Tempati Urutan Kedua  Setelah China - Ringtimes      

Angkatan Laut Sri Lanka (SLN) menghadapi tantangan besar dari Sea Tigers, sayap laut LTTE yang menggunakan kapal cepat bersenjata dan taktik bunuh diri. Modernisasi SLN meliputi:

  • Kapal Patroli Cepat: Kapal kelas Dvora dari Israel dan kapal patroli lepas pantai (OPV) dari India dan Tiongkok meningkatkan kemampuan perang laut.

  • Kapal Penghancur Senjata: SLN berhasil menghancurkan kapal-kapal penyelundup senjata LTTE di laut lepas, berkat intelijen dan kapal seperti SLNS Sayura (dari India).

  • Amfibi: Penggunaan kapal pendarat dan perahu karet untuk operasi pantai mendukung serangan darat melawan LTTE.

3.2.4. Teknologi Intelijen dan Komunikasi

Sri Lanka meningkatkan kemampuan intelijen dengan bantuan asing, terutama dari India dan Israel. Penggunaan UAV (Unmanned Aerial Vehicles) seperti Searcher II dari Israel memungkinkan pengawasan real-time terhadap posisi LTTE. Sistem komunikasi radio modern juga diadopsi untuk koordinasi antar-matra.

3.3. Dampak Perang Saudara

Perang Saudara Sri Lanka mendorong modernisasi militer yang signifikan, tetapi juga menimbulkan kontroversi. PBB dan organisasi HAM menuduh Angkatan Bersenjata Sri Lanka melakukan pelanggaran HAM, termasuk pengeboman sasaran sipil dan kekerasan terhadap warga Tamil. LTTE juga dikecam karena menggunakan warga sipil sebagai tameng manusia dan merekrut anak-anak. Perang berakhir pada Mei 2009 dengan kemenangan militer pemerintah, tetapi dengan korban jiwa diperkirakan mencapai 80.000–100.000 orang.

4. Modernisasi Militer Pasca-Perang Saudara (2009–Sekarang)

4.1. Restrukturisasi Angkatan Bersenjata

Setelah perang saudara, Sri Lanka fokus pada restrukturisasi dan modernisasi Angkatan Bersenjata untuk menghadapi ancaman baru, seperti terorisme, kejahatan maritim, dan bencana alam. Pada 2023, Angkatan Bersenjata memiliki sekitar 346.000 personel aktif dan 36.000 cadangan, dengan anggaran militer sebesar US$1,45 miliar.

4.1.1. Angkatan Udara

Angkatan Udara Sri Lanka terus memodernisasi armadanya. Pada 2023, SLAF menerima dua pesawat Y-12 IV dari Tiongkok, yang memiliki kemampuan Short Take-Off and Landing (STOL) dan digunakan untuk transportasi militer serta promosi pariwisata. Pesawat Kfir, yang sempat dilarang terbang, sedang dirombak dengan bantuan Israel Aerospace Industries (IAI). Peningkatan ini mencakup avionik generasi 4+, radar baru, dan sistem komunikasi canggih, dengan Kfir pertama yang diperbarui dijadwalkan terbang pada 2024.

4.1.2. Angkatan Laut

SLN meningkatkan kemampuan patroli maritim untuk melindungi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Sri Lanka. Pada 2020-an, SLN menerima kapal OPV lanjutan dari India dan Tiongkok, serta kapal patroli kelas Hamilton dari AS. SLN juga mengembangkan kapal buatan lokal, seperti kapal patroli cepat di galangan kapal Colombo.

4.1.3. Angkatan Darat

Angkatan Darat fokus pada peralatan ringan dan mobilitas tinggi untuk operasi kontrainsurgensi dan bantuan bencana. Pengadaan senjata ringan modern, seperti CZ-805 BREN dari Republik Ceko, dan kendaraan taktis ringan meningkatkan fleksibilitas pasukan.

4.2. Tantangan Modernisasi

Modernisasi militer Sri Lanka menghadapi beberapa tantangan:

  • Krisis Ekonomi: Kebangkrutan ekonomi pada 2022 membatasi anggaran militer. Utang luar negeri, termasuk ke Tiongkok, memaksa Sri Lanka untuk menyeimbangkan prioritas antara pertahanan dan pemulihan ekonomi.

  • Ketergantungan Impor: Sri Lanka tidak memiliki industri pertahanan domestik yang kuat dan bergantung pada impor dari Tiongkok, India, Rusia, dan Israel. Hal ini meningkatkan biaya dan risiko geopolitik.

  • Kekhawatiran Geopolitik: Moratorium 2024 terhadap kapal penelitian asing, termasuk kapal Tiongkok, mencerminkan ketegangan dengan India dan AS atas dugaan aktivitas mata-mata Tiongkok di pelabuhan Hambantota.

4.3. Kontribusi Internasional

Sri Lanka aktif dalam misi penjaga perdamaian PBB sejak 1960-an, mengirimkan pasukan ke Chad, Lebanon, dan Haiti. Pengalaman ini meningkatkan kemampuan operasional dan memperkenalkan teknologi militer modern melalui pelatihan bersama. Selain itu, program BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing) di Indonesia pada 2021 melibatkan personel militer Sri Lanka, menunjukkan kerja sama militer dengan negara-negara tetangga.

5. Prospek Masa Depan

5.1. Tren Teknologi Militer

Sri Lanka diperkirakan akan mengadopsi teknologi militer modern, seperti:

  • UAV dan Drones: Penggunaan UAV untuk pengawasan maritim dan darat akan meningkat, mengikuti tren global.

  • Sistem Siber: Ancaman siber yang berkembang memaksa Sri Lanka untuk berinvestasi dalam pertahanan siber, meskipun saat ini masih terbatas.

  • Senjata Presisi: Rudal dan bom berpemandu presisi, seperti yang digunakan oleh Kfir yang ditingkatkan, akan menjadi prioritas untuk mengurangi kerusakan kolateral.

5.2. Kerja Sama Internasional

Sri Lanka akan terus menjalin kerja sama dengan India, Tiongkok, dan Barat untuk memperoleh teknologi militer. Namun, ketegangan geopolitik di Indo-Pasifik dapat memengaruhi akses Sri Lanka ke teknologi canggih.

5.3. Fokus Keamanan Dalam Negeri

Dengan tidak adanya ancaman eksternal besar, fokus militer Sri Lanka akan tetap pada keamanan dalam negeri, kontrainsurgensi, dan bantuan bencana. Teknologi seperti kendaraan taktis ringan, peralatan komunikasi portabel, dan pesawat STOL akan menjadi prioritas.

6. Tantangan dalam Memahami Perkembangan Militer Sri Lanka

6.1. Keterbatasan Sumber

Informasi tentang teknologi militer Sri Lanka sering kali terbatas pada laporan resmi pemerintah atau media internasional, yang dapat bias terhadap narasi politik. Sumber independen tentang spesifikasi peralatan atau R&D militer sulit ditemukan.

6.2. Kontroversi HAM

Perkembangan militer Sri Lanka tidak dapat dipisahkan dari tuduhan pelanggaran HAM selama perang saudara. Hal ini memengaruhi persepsi internasional dan membatasi akses ke teknologi dari negara-negara Barat.

7. Kesimpulan

Perkembangan teknologi militer Sri Lanka mencerminkan perjalanan panjang dari era kerajaan kuno hingga negara modern yang menghadapi tantangan internal dan eksternal. Dari teknologi tradisional seperti gajah perang hingga pesawat Kfir dan kapal OPV modern, Sri Lanka telah menunjukkan kemampuan adaptasi dalam menghadapi ancaman. Perang Saudara (1983–2009) menjadi titik balik yang mempercepat modernisasi militer, dengan pengadaan senjata canggih dari berbagai negara. Namun, krisis ekonomi, ketergantungan impor, dan ketegangan geopolitik tetap menjadi hambatan. Di masa depan, Sri Lanka perlu menyeimbangkan investasi dalam teknologi militer dengan kebutuhan ekonomi dan diplomatik, sambil mempertahankan fokus pada keamanan dalam negeri dan kontribusi internasional. Memahami perkembangan ini penting untuk melihat bagaimana sebuah negara kecil di Indo-Pasifik dapat bertahan dalam lanskap keamanan yang kompleks.

Sumber Referensi

BACA JUGA: Panduan Lengkap Travelling ke Republik Ceko untuk Wisatawan Indonesia

BACA JUGA : Lingkungan, Sumber Daya Alam, dan Penduduk Republik Ceko: Analisis Mendalam

BACA JUGA : Seni dan Tradisi Negara Republik Ceko: Warisan Budaya yang Kaya dan Beragam