Bayangkan robot setinggi 175 cm, berat 80 kg, yang bisa membawa beban 20 kg—dan didesain khusus untuk medan perang. Ini bukan film sci-fi! Foundation Robotics, startup San Francisco, telah menciptakan Phantom MK-1, robot humanoid setinggi 5 kaki 9 inci dengan berat 175 pon yang mampu membawa beban hingga 44 pon, didesain khusus untuk aplikasi militer. Realitas robot dan AI jadi jenderal perang di masa depan sudah tiba—dan Indonesia harus bersiap menghadapi revolusi ini!
Di artikel ini, kamu akan dapat insight mendalam tentang:
- Phantom MK-1: Robot Perang Pertama di Dunia yang Siap Produksi Massal
- Pasar Global AI Militer: USD 9,8 Miliar di 2024 dan Terus Melonjak
- Aplikasi Nyata: Dari Ukraina hingga Angkatan Darat AS
- Indonesia: Hati-hati Tapi Tak Bisa Menghindari AI dalam Pertahanan
- Deadline PBB 2026: Dunia Berpacu Atur Senjata Otonom Mematikan
- Dilema Etis yang Belum Terpecahkan: Siapa yang Bertanggung Jawab?
- Prediksi 2030–2050: Era Baru Peperangan dan Ekonomi Robot
1. Phantom MK-1: Robot Perang Pertama di Dunia yang Siap Produksi Massal

Foundation Robotics menciptakan Phantom MK-1, robot humanoid setinggi 5 kaki 9 inci dan berat 175 pon yang mampu membawa beban hingga 44 pon, dan perusahaan ini aktif mencari kontrak dengan Departemen Pertahanan AS dengan target memproduksi 10.000 unit tahun depan. Berbeda dengan perusahaan robotik besar lainnya, Foundation adalah satu-satunya perusahaan robotik humanoid yang diketahui dengan sengaja membangun mesin untuk aplikasi militer.
Teknologi di balik Phantom MK-1:
- Menggunakan teknologi actuator cycloidal yang menggantikan komponen hidrolik yang lebih besar dengan mekanisme yang lebih kompak dan digerakkan secara elektrik, menjaga robot tetap relatif ringan dan senyap
- Menggunakan kamera untuk navigasi daripada sensor LiDAR untuk menyederhanakan integrasi data dan meningkatkan reliabilitas
- Foundation mengklaim robot dapat membawa beban 20 kilogram dan bergerak dengan kecepatan hingga 1,7 meter per detik
Kontrol manusia tetap penting: Meskipun ada kemajuan dalam kecerdasan buatan, robot humanoid tidak akan sepenuhnya otonom—operator manusia akan mempertahankan pengawasan, dengan AI membantu menandai target, memetakan jalur, dan menghitung lintasan. Ini berarti robot dan AI jadi jenderal perang di masa depan masih memerlukan keputusan manusia untuk hal-hal kritis.
Target ambisius Foundation: Startup ini menargetkan pengiriman lebih dari 40 robot pada tahun 2025, 10.000 pada tahun 2026, dan lebih dari 20.000 pada tahun 2027, dengan target lebih dari USD 1 miliar dalam pendapatan berulang tahunan (ARR).
2. Pasar Global AI Militer: USD 9,8 Miliar di 2024 dan Terus Melonjak

Pasar kecerdasan buatan global dalam militer menunjukkan trajektori pertumbuhan stabil dari 2022 hingga 2032 dengan CAGR 12,4%—dimulai dari pendapatan USD 7,9 miliar pada 2022, pasar mengalami pertumbuhan tahunan mencapai USD 8,9 miliar pada 2023 dan meningkat lebih lanjut menjadi USD 9,8 miliar pada 2024. Ini bukan sekadar tren—ini komitmen nyata negara-negara besar dalam teknologi robot dan AI jadi jenderal perang di masa depan.
Proyeksi jangka panjang yang mencengangkan: Momentum pertumbuhan berkelanjutan, dengan nilai pasar naik menjadi USD 11,4 miliar pada 2025, diikuti peningkatan menjadi USD 13,0 miliar pada 2026, kemudian USD 14,4 miliar pada 2027. Pertumbuhan terus berlanjut, dengan nilai pasar mencapai USD 15,5 miliar pada 2028, USD 17,4 miliar pada 2029, dan USD 19,3 miliar pada 2030.
Siapa yang memimpin investasi? Dalam hal pengeluaran militer, Amerika Serikat memimpin secara global dengan mengejutkan USD 877 miliar, yang merupakan 3,5% dari PDB-nya. Diikuti dekat oleh China, yang mengalokasikan USD 292 miliar untuk militernya. Amerika Serikat menghabiskan USD 997 miliar untuk pengeluaran militer pada 2024, yang menyumbang 66% dari semua pengeluaran NATO dan 37% dari semua pengeluaran militer di seluruh dunia.
Proyeksi Morgan Stanley: Morgan Stanley memprediksi adopsi luas robot humanoid pada akhir 2030-an, dengan total nilai pasar yang berpotensi melebihi USD 5 triliun pada 2050, dengan aplikasi militer diperkirakan mewakili porsi signifikan dari pasar tersebut.
Baca juga: Tren Teknologi Militer Terkini di BizTelegraph
3. Aplikasi Nyata: Dari Ukraina hingga Angkatan Darat AS

Ukraina: Laboratorium Hidup untuk AI Warfare Robin Fontes, mantan wakil komandan jenderal Komando Siber Angkatan Darat AS, menyebut Ukraina sebagai “laboratorium hidup untuk perang AI”. Teknologi AI di Ukraina telah digunakan untuk menganalisis dataset ekstensif dari sumber terbuka, termasuk media sosial, memberikan wawasan berharga untuk pengambilan keputusan.
Angkatan Darat AS: Investasi Besar-besaran Secara keseluruhan, DoD menganggarkan USD 25,2 miliar untuk program yang menggabungkan kecerdasan buatan dan sistem otonom dalam Tahun Fiskal 2025 (FY25), sekitar 3% dari total anggaran DoD sebesar USD 850 miliar. Mayoritas pendanaan ini (USD 21,8 miliar) dialokasikan untuk penelitian, pengembangan, pengujian, dan evaluasi (RDT&E).
Kontrak Nyata yang Mengubah Perang: Dalam satu tahun terakhir, Palantir telah memenangkan beberapa kontrak besar yang berfokus pada AI, yaitu kontrak USD 178 juta untuk sistem stasiun darat Tactical Intelligence Targeting Access Node (TITAN), kemampuan penginderaan mendalam generasi berikutnya Angkatan Darat yang didukung oleh AI, dan kontrak Angkatan Darat USD 480 juta untuk Maven Smart Systems, platform yang menggunakan AI untuk menganalisis data sensor guna memodernisasi operasi medan perang seperti penargetan, perencanaan logistik, dan memprediksi kebutuhan pasokan.
Bagaimana robot dan AI jadi jenderal perang di masa depan? Dengan kemampuan memproses data, mengidentifikasi pola, dan membuat rekomendasi keputusan jauh lebih cepat dari manusia—namun tetap dengan pengawasan manusia untuk keputusan akhir.
4. Indonesia: Hati-hati Tapi Tak Bisa Menghindari AI dalam Pertahanan

Kementerian Pertahanan Indonesia melanjutkan dengan hati-hati dalam mengadopsi kecerdasan buatan (AI) dalam sistem senjata utama Angkatan Bersenjata pada 2025. Brigadir Jenderal Frega Wenas Inkiriwang, kepala biro hubungan masyarakat kementerian, mengatakan bahwa AI tidak sepenuhnya dapat diandalkan untuk menjalankan misi pertahanan.
Mengapa Indonesia berhati-hati? Inkiriwang mencatat bahwa sistem senjata bertenaga AI menghadapi keterbatasan signifikan, terutama dalam hal mencapai akuisisi target yang akurat. Presisi sangat kritis, karena mengenai target yang dituju dapat menentukan keberhasilan atau kegagalan misi. “Di beberapa area konflik di mana AI telah digunakan, presisi tidak sepenuhnya akurat. Dalam beberapa kasus, malah menargetkan warga sipil secara keliru,” ia menunjukkan.
Tapi Indonesia tidak bisa hanya jadi penonton: Inkiriwang mengakui bahwa penggunaan AI dalam industri persenjataan meningkat. Ia menegaskan bahwa “AI telah menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam konteks pertahanan”. TNI Angkatan Udara Indonesia (TNI-AU) adalah salah satu pihak yang tertarik untuk memperdalam teknologi AI. “Peralatan teknologi terbaru yang mendukung cyber dan AI masih belum lengkap. Teknologi ini diharapkan akan diimplementasikan pada 2025 setelah evaluasi 2024,” kata Komodor Udara Ardi Syahri, kepala dinas penerangan TNI-AU.
Integrasi strategis untuk masa depan: Integrasi strategis teknologi AI dapat meningkatkan kemampuan militer Indonesia, meningkatkan kesadaran situasional, dan memperkuat kemampuannya untuk merespons ancaman keamanan secara efektif. Jelas bahwa robot dan AI jadi jenderal perang di masa depan adalah keniscayaan yang harus dihadapi Indonesia.
5. Deadline PBB 2026: Dunia Berpacu Atur Senjata Otonom Mematikan

Sekretaris Jenderal PBB António Guterres sekali lagi menyerukan larangan global terhadap sistem senjata otonom mematikan—mesin yang mampu mengambil nyawa manusia tanpa pengawasan manusia—menggambarkan mereka sebagai “tidak dapat diterima secara politik” dan “menjijikkan secara moral”. “Tidak ada tempat untuk sistem senjata otonom mematikan di dunia kita,” kata Mr. Guterres pada hari Senin. “Mesin yang memiliki kekuatan dan kebijaksanaan untuk mengambil nyawa manusia tanpa kontrol manusia harus dilarang oleh hukum internasional”.
Target konkret yang ditetapkan PBB: Kepala PBB telah menyerukan Negara Anggota untuk menetapkan regulasi dan larangan yang jelas pada sistem tersebut pada 2026. Negara Anggota PBB telah mempertimbangkan regulasi untuk sistem senjata otonom sejak 2014 di bawah Convention on Certain Conventional Weapons (CCW) yang berurusan dengan senjata yang mungkin melanggar hukum kemanusiaan.
Dukungan luas untuk perjanjian: Lebih dari 120 negara mendukung seruan untuk menegosiasikan perjanjian yang melarang dan mengatur sistem senjata otonom. ICRC, kelompok masyarakat sipil, dan banyak pemerintah mengatakan perjanjian tersebut harus melarang sistem senjata otonom yang beroperasi tanpa kontrol manusia yang bermakna atau yang menargetkan orang.
Pertemuan sejarah Mei 2025: Pejabat dari 96 negara, bersama dengan perwakilan dari badan-badan PBB, Komite Palang Merah Internasional (ICRC), dan organisasi non-pemerintah, menghadiri pertemuan Majelis Umum di New York pada 12-13 Mei 2025. Dalam pembukaan pertemuan PBB, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres dan Presiden ICRC Mirjana Spoljaric Egger mengulangi seruan mereka untuk kesimpulan instrumen yang mengikat secara hukum yang melarang senjata “tidak dapat diterima secara politik, menjijikkan secara moral” ini pada 2026.
Mengapa urgensi tinggi? Baru-baru ini, ada urgensi yang meningkat seputar isu ini, sebagian karena sifat kecerdasan buatan, algoritma, dan sistem otonom secara keseluruhan yang berkembang dengan cepat. Realitas robot dan AI jadi jenderal perang di masa depan membuat dunia harus bertindak cepat.
6. Dilema Etis yang Belum Terpecahkan: Siapa yang Bertanggung Jawab?
Masalah akuntabilitas yang rumit: Austria, Kosta Rika, El Salvador, Guatemala, dan negara-negara lain menyatakan keprihatinan tentang kesenjangan akuntabilitas yang diciptakan oleh sistem senjata otonom, karena tidak jelas siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum jika sistem tersebut melanggar hukum kemanusiaan internasional atau hukum hak asasi manusia. Ada hambatan untuk meminta pertanggungjawaban pidana operator individu atas tindakan mesin yang tidak dapat diprediksi yang tidak dapat mereka pahami.
Kekhawatiran dari Stop Killer Robots: Nicole van Rooijen, Direktur Eksekutif Stop Killer Robots, mengatakan kepada UN News bahwa konsensus mulai muncul seputar beberapa masalah utama. Secara khusus, ada konsensus tentang apa yang dikenal sebagai pendekatan “dua tingkat”, yang berarti harus ada larangan pada jenis tertentu dari sistem senjata otonom dan regulasi pada yang lain.
Ancaman terhadap hak asas manusia: Beberapa negara menyoroti implikasi hak asasi manusia dari sistem senjata otonom. Aljazair mengatakan bahwa sistem tersebut “secara fundamental menantang hak untuk hidup dengan menghilangkan penilaian manusia dari keputusan kekuatan mematikan.” El Salvador dan Irlandia serupa mengekspresikan keprihatinan mendalam tentang ketidakcocokan sistem senjata otonom dengan hak untuk hidup.
Risiko pada kelompok rentan: Sangat mudah bagi mesin untuk salah mengidentifikasi target manusia, dengan orang-orang dengan disabilitas berada pada risiko khusus karena cara mereka bergerak. Ini menunjukkan bahwa robot dan AI jadi jenderal perang di masa depan membawa risiko serius terhadap kemanusiaan.
7. Prediksi 2030–2050: Era Baru Peperangan dan Ekonomi Robot
Proyeksi pasar jangka panjang: Ukuran pasar Kecerdasan Buatan Global dalam Militer diperkirakan akan mencapai USD 19,74 miliar pada 2029 dengan tingkat pertumbuhan 15,1%, peningkatan pengeluaran untuk pertahanan. Pasar AI dalam Militer diproyeksikan tumbuh dari USD 9,2 Miliar pada 2023 menjadi USD 38,8 Miliar pada 2028; diharapkan tumbuh pada Tingkat Pertumbuhan Tahunan Gabungan (CAGR) 33,3% dari 2023 hingga 2028.
Prediksi CEO Foundation tentang masa depan: Pathak mengakui bahwa China dan Amerika Serikat “berimbang” dalam kemampuan penelitian dan pengembangan humanoid, meskipun ia mengatakan AS tertinggal dalam kapasitas manufaktur. Ia memprediksi bahwa dalam 10 tahun, robot humanoid akan diterjunkan terlebih dahulu di medan perang aktif, dengan tentara manusia mengikuti hanya jika diperlukan.
Transformasi total industri pertahanan: Pada 2025, diperkirakan bahwa lebih dari 35% sistem pertahanan baru akan menggabungkan otonomi bertenaga AI, mengurangi kebutuhan untuk intervensi manusia di lingkungan berisiko tinggi. Negara-negara seperti Amerika Serikat, China, dan Rusia memimpin dalam perang drone dan robotik bertenaga AI, dengan investasi melebihi USD 15 miliar dalam teknologi pertahanan yang digerakkan AI.
Cyber warfare akan mendominasi: Perang cyber adalah kekhawatiran yang berkembang, dengan sistem keamanan cyber yang digerakkan AI diharapkan mencegah 85% serangan cyber sebelum terjadi pada 2025. Pengeluaran keamanan cyber militer diproyeksikan mencapai USD 11 miliar secara global, dengan mekanisme pertahanan bertenaga AI menyumbang 40% dari anggaran keamanan cyber.
Aplikasi AI dalam pengobatan militer: Bedah robotik yang digerakkan AI diperkirakan meningkat 25% di rumah sakit militer pada 2025, meningkatkan tingkat kelangsungan hidup personel yang terluka. Militer AS telah menginvestasikan USD 2,5 miliar dalam sistem perawatan kesehatan tempur yang digerakkan AI, termasuk drone medis otonom yang mengirimkan pasokan kritis ke zona perang dengan tingkat akurasi 90%.
Baca Juga Sistem Komunikasi Militer Satelit dan 5G untuk Indonesia
Indonesia di Persimpangan Jalan Teknologi Pertahanan
Data-data di atas membuktikan bahwa robot dan AI jadi jenderal perang di masa depan bukan lagi wacana—ini realitas yang sedang terbentuk SEKARANG. Foundation Robotics menciptakan Phantom MK-1 yang aktif mencari kontrak dengan Departemen Pertahanan AS dan menargetkan produksi 10.000 unit tahun depan. Pasar AI militer global mencapai USD 9,8 miliar di 2024 dan akan terus tumbuh dengan CAGR 12,4%. PBB menargetkan perjanjian internasional mengikat untuk mengatur senjata otonom mematikan pada 2026.
Untuk Indonesia: Meskipun Kementerian Pertahanan Indonesia melanjutkan dengan hati-hati, mereka mengakui bahwa AI telah menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam konteks pertahanan. TNI-AU berencana mengimplementasikan teknologi AI pada 2025 setelah evaluasi 2024. Integrasi strategis teknologi AI dapat meningkatkan kemampuan militer Indonesia, memperkuat kesadaran situasional, dan meningkatkan kemampuan merespons ancaman keamanan.
Pertanyaan untuk kamu: Dari ketujuh fakta terverifikasi tentang robot dan AI jadi jenderal perang di masa depan di atas, mana yang paling mengejutkan? Apakah Indonesia sudah siap menghadapi era perang robotik? Share pendapatmu di kolom komentar!